JAKARTA (UNAS) – Para pengajar pertanian optimistis jumlah peminat untuk mempelajari ilmu ini akan terus bertambah di masa mendatang. Meskipun saat ini jumlah mahasiswa di perguruan tinggi cenderung turun atau stabil setiap tahunnya, dalam beberapa tahun ke depan grafik peningkatan akan jelas terlihat.
Hal ini terjadi karena benerapa faktor. Faktor pertama adalah akan mulai jenuhnya bidang-bidang keilmuan yang berorientasi pada teknologi dan komunikasi. “Akan ada titik jenuh, untuk yg instan-instan. Pada akhirnya roda akan berputar,” ungkap Wagiman, Dosen Fakultas Teknologi Pangan, Universitas Gadjah Mada, yang menjadi salah satu peserta Seminar Nasional Pertanian yang diselenggarakan Fakultas Pertanian, Kamis (9/2).
Faktor kedua, adalah fakta bahwa masalah pangan merupakan hal yang menjadi prioritas masyarakat. “Masalah pangan adalah masalah perut. Semua orang pasti makan. Jadi, pasti dibutuhkan ilmunya dimana mana,” tegas Kepala Laboratorium Ilmu- Ilmu Pertanian, Universitas Nasional, Etty Hestiathi, beberapa waktu lalu.
Selain itu, lanjutnya, pertanian memiliki keterkaitan dengan sektor lain seperti ekonomi, politik hingga masalah sosial dan lingkungan. Hal inilah yang membuat bidang pertanian menjadi penting dan seharusnya mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.
Untuk mendorong minat generasi muda menyukai pertanian, Etty dan para dosen pertanian melakukan berbagai hal, antara lain menyesuaikan kurikulum dengan tantangan zaman. “Kami memasukkan kewirausahaan pada kurikulum, dan menambah mata kuliah lain untuk menambah wawasan dan menyiapkan lulusan yang siap bersaing di dunia global,” paparnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Widy Agustin, salah satu Pengajar di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Orang pertanian juga harus menguasai ekonomi, harus bisa jualan dan berwirausaha. Itu yang kami ajarkan disini,” kata Widy.
Menurutnya menurunnya minat generasi muda di bidang pertanian karena masih adanya stigma bahwa lulusan pertanian identik dengan menjadi petani yang hidupnya sulit dan kurangnya daya juang untuk berusaha dan menginginkan hal-hal yang sifatnya instan.
Dampaknya, imbuh Widy, banyak sekolah-sekolah kejuruan pertanian yang gulung tikar atau beradaptasi agar dapat terus menjalankan sekolahnya. “Kebanyakan tutup, tapi ada juga yang membuka bidang lain seperti Teknik Jaringan atau Tata Boga, agar ada siswanya,” paparnya.
Namun, lanjutnya, dalam dua tahun terakhir ini ada kecenderungan jumlah siswa mulai menunjukkan peningkatan. (*mth/ris)
Keterangan Foto: Kegiatan pembuatan tauco sebagai salah satu bentuk kewirausahaan dibidang pertanian yang dilakukan oleh P4TK, Cianjur, Kamis (9/2).